Rabu, 10 Mei 2017

Haji kipas angin

Ini yang ke dua kalinya aku mampir ke sini.
Untuk? Untuk apa ya? Aku lupa.

Oh, iya. Untuk makan ketoprak. Dimana? Yang pasti bukan di Jonggol. Anjir... Jonggol dimana sih? Si Neng Ziah yang suka bilang gitu setiap ditanya. Untungnya sih enggak di Jonggol. Aku di Cililitan, Jakarta Timur untuk mampir ke rumah Bibiku, numpang makan dan Ee. Tapi nyatanya, aku jarang untuk makan dari rumah Bibiku. Aku lebih setuju untuk menyusuri jalan dan mencari yang sedang aku maui. Dan buktinya ketoprak ini membuat aku jadi ingin lagi. Sampai uangku habis kalau bisa.

Biarlah aku ceritakan untuk yang waktu pertama aku kesini. Jadi, waktu itu, aku datang.

"Satu ya, Bang.... Dibungkus. Yang pedes. Tapi gak pakek cabe" itu aku. Pesan. Lalu duduk di bangku plastik yang disediakan.

"Siap!" si Abang bersabda.

Ketika baru kududuk dimuka, aku baru sadar ternyata disebelah kananku ada seekor kakek-kakek. Umurnya, aku gak tau. Kau tanya saja.

"Ngapain kamu? Beli ketoprak?" tanya si Kakek tiba-tiba. Si Kakek berbicara seperti orang marah. Tapi aku yakini bahwa itu adalah bakatnya setiap berbicara. Bikin orang takut.

"Iya, Pak.. Tadinya mau saya borong. Tapi gak ada uangnya. Bapak ngapain disini? Beli gerobak juga?" kataku yang ketika mengatakan kata "gerobak" diiringi suara motor RX King lewat.

"Gak! Cuma nongkrong. Ya... Pengangguran memang gini. Bebas.."

"Oh.. Iya sih, Pak. Enakan nganggur. Biar bisa banyak tidur. Nanti juga pusing"

"Hmmm..." jawab si Bapak.

"Udah nikah, Pak?"

"Siapa? Saya? Sudah!"

"Punya anak berapa?" tanyaku lagi.

"Semuanya 7. Yang bungsu kemarin habis kuliah. Saya habis biaya 250 juta" kata si Bapak. Padahal demi Allah aku gak nanya.

"Pesemesternya berapa emang, Pak? Saya mau kuliah juga ah..." kuli.

"150 juta persemester"

"Murah segitu mah..." jawabku.

"Hmmm...." si Bapak begitu lagi.

"Kamu, kerja disini? Ngapain?" tanya si Bapak.

"Cuma main aja ke rumah Bibi saya. Namanya Bi Rosita. Bapak kenal?"

"Gak. Gak kenal"

"Ah, masa? Bibi saya yang kenal malah sama Bapak" kataku.

"Rosita mana sih?"

"Ini, Mas ketopraknya..." dan si Mas ketoprak datang sambil menyerahkan pesananku.

"Sabaraha?" tanyaku.

"Sepuluh ribu, Mas" lalu aku menyerahkan uang sepuluh miliar. Tapi cuma khayalan.

"Ok. Si Mas nyiapin ketopraknya malah sebentar euy... Padahal saya masih pengen ngobrol soal filsafat sama Bapak. Saya pamit ya, Pak!"

"Ya.. Ya..." jawab si Bapak.

"Oiya... Nama Bapak siapa?" sambilku ajak si Bapak bersalaman.

"Haji... Haji Ace"

"Nama saya Edward, Pak. Bapak ingat-ingat ya... Bahwa kita pernah ngobrol bersama. Mari, Pak... Salomlikum"

"Hahaha... Alaikum salam". Sianjing tertawa sambil menjawab salamku.

Malam semakin malam. Tetapi suara klakson tetap saja terdengar jelas disini. Mungkin setiap orang ingin cepat sampai dirumahnya masing-masing dan langsung ke toilet.
Dan aku sempat kecewa juga. Untuk yang kedua ini, aku tidak bertemu dengan Haji Ace. Yaitu si Pemilik gerobak ketoprak ini. Yang kebetulan hari itu sedang ingin berkunjung dan mengaku kepadaku seorang pengangguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar